Part 1: Surat dari Seberang Pulau

Langit sore di ujung desa itu mulai berwarna jingga ketika Rafi menatap jalan kecil yang berdebu di depan rumah Lia. Di sanalah, untuk pertama kalinya, dua hati dari dua pulau berbeda bertemu tanpa rencana, tanpa janji, tapi dengan takdir yang pelan-pelan menulis ceritanya sendiri.

Rafi datang dari Madura, lelaki sederhana dengan mata teduh dan tutur lembut. Ia datang ke Jawa untuk mengikuti pelatihan singkat di kota kecil tempat Lia tinggal. Mereka bertemu di sebuah acara kampus Lia sebagai panitia, Rafi sebagai peserta.

Awalnya hanya obrolan basa-basi, lalu candaan ringan, dan entah bagaimana, waktu membuat mereka semakin dekat. Hari-hari itu singkat, tapi penuh makna. Mereka berjalan bersama ke taman kota, makan bakso di warung pinggir jalan, dan tertawa di bawah lampu jalan yang temaram.

Ada sesuatu di mata Lia yang tak bisa Rafi lupakan. Sebuah ketenangan, tapi juga kesedihan yang dalam. Namun Rafi tak berani berharap lebih. Ia tahu, jarak di antara mereka bukan hanya laut, tapi juga kehidupan yang berbeda.

Hingga hari terakhir tiba.

Rafi harus pulang ke Madura.

Pagi itu, Lia mengantarnya ke pelabuhan. Tempat di mana Rafi menaiki kapal untuk kembali ke Madura laut yang sama yang memisahkan dan sekaligus menghubungkan dua hati.

Setiap kali kapal itu berangkat, seolah membawa serta rindu yang tak pernah selesai.

Di sinilah semua kenangan bermula… dan mungkin, suatu hari nanti, akan berakhir kembali di tempat yang sama.

Tak banyak kata yang terucap hanya tatapan yang berusaha menyembunyikan rasa kehilangan.

Jaga diri, ya,” kata Lia lirih.

Rafi tersenyum tipis. “Kamu juga.”

Setelah kapal mulai melaju, Lia melangkah pergi dengan langkah kecil dan mata yang basah. Tapi sebelum Rafi benar-benar naik ke dalam kapal, Lia kembali berlari menghampirinya dan menyelipkan secarik kertas di tangannya.

Baca nanti aja,” katanya cepat, lalu pergi tanpa menoleh lagi.

Di dalam kapal, Rafi membuka lipatan kertas itu dengan tangan yang bergetar.

Tulisan tangan Lia terlihat indah, sedikit miring ke kanan.

Hanya ada satu kalimat di sana:

“Bagaimana aku bisa hidup tanpamu.

Rafi terdiam lama. Dadanya terasa sesak, matanya hangat.

Di tengah suara mesin, ia tahu Lia mencintainya juga.

Sejak hari itu, mereka tak lagi bisa bertemu setiap hari. Laut memisahkan mereka, tapi surat-surat menjembatani jarak itu. Setiap minggu, Rafi menulis tentang hari-harinya di Madura, tentang rindu yang tak bisa diucapkan lewat telepon. Lia membalas dengan cerita tentang hujan di kotanya, tentang lagu yang mengingatkannya pada Rafi.

Kertas dan tinta menjadi saksi cinta mereka.

Sampai bertahun-tahun kemudian, Rafi masih menyimpan semua surat itu dalam sebuah kotak kayu kecil.

Di setiap lembar, ia menemukan alasan untuk tetap percaya bahwa cinta tak selalu harus dekat untuk tetap hidup.

Part 2: Jarak yang Masih Menunggu

Waktu berjalan pelan. Bulan demi bulan berganti, tapi rasa itu tak pernah pudar.
Surat-surat masih datang, bergantian menyeberangi laut dari Madura menuju Jawa, dan dari Jawa menuju Madura.

Kadang Rafi menunggu tukang pos seperti menunggu kabar dari langit; kadang Lia menatap jendela setiap sore, berharap surat dengan nama “Rafi” di pojok amplop itu tiba hari itu juga.

Mereka masih pelajar. Dunia mereka belum sepenuhnya terbuka.
Rafi masih harus menyelesaikan sekolahnya di Madura, sementara Lia sibuk menyiapkan ujian akhir di kotanya.

Tapi keduanya sama-sama tahu cinta itu nyata, meski belum bisa bersatu.

Suatu hari di akhir semester, Rafi kembali ke Jawa. Ia datang diam-diam, hanya ingin bertemu Lia, walau sebentar.

Ketika mereka bertemu di taman tempat dulu mereka pertama kali berjalan bersama, senyum Lia merekah seperti bunga yang lama menahan hujan.

Kamu beneran datang?
Rafi mengangguk. “Aku kangen.”
Hanya dua kata, tapi cukup membuat Lia menunduk, berusaha menyembunyikan bahagia yang hampir tumpah.

Hari itu mereka duduk berdua di bawah pohon flamboyan yang sedang berbunga.
Bercerita tentang sekolah, tentang cita-cita, tentang masa depan yang masih samar.

Sesekali mereka diam, hanya mendengarkan angin sore yang berbisik pelan di antara daun-daun.

Aku takut,” Lia berkata tiba-tiba.
Rafi menoleh. “Takut kenapa?
Takut kalau nanti kita nggak bisa terus kayak gini. Takut kamu lupa.”
Rafi tersenyum kecil. “Aku nggak akan lupa. Selama laut masih ada di antara kita, aku akan ingat siapa yang ada di seberangnya.”

Lia menatap wajahnya lama.
Mereka tak berani terlalu dekat, tapi juga tak mampu terlalu jauh.
Di antara keduanya, waktu seperti berhenti tapi dunia tidak.

Hari mulai gelap. Lia harus pulang, dan Rafi harus bersiap kembali ke penginapan.
Di depan gerbang kecil itu, mereka berdiri berhadapan tanpa kata.
Lia menggenggam erat buku catatan kecilnya, lalu menyelipkan selembar kertas di dalam saku Rafi.

“Buka nanti aja,” katanya sama seperti dulu.

Rafi hanya mengangguk. Ia tak berani bicara, takut suaranya pecah oleh rindu.

Malam itu, di kamar yang sunyi, Rafi membuka kertas itu.
Tulisan tangan Lia masih sama, lembut dan jujur.

“Kita masih muda, tapi aku tahu perasaanku bukan main-main.
Aku nggak tahu apa yang akan terjadi nanti,
tapi kalau waktu memisahkan kita lagi,
aku cuma mau kamu tahu aku tetap menunggumu.”

Rafi menggenggam kertas itu erat-erat.
Matanya menerawang ke arah laut, seolah bisa melihat pulau tempat Lia berada.

Ia tahu, cinta mereka mungkin harus terus diuji oleh jarak dan waktu.
Tapi ia juga tahu ada janji yang diam-diam telah mereka buat,
bukan lewat kata, tapi lewat hati.

Part 3: Janji di Bawah Langit Sekolah

Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan pelan, tapi penuh warna. Rafi kembali ke Madura dengan semangat baru. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, ia selalu membaca kembali surat terakhir dari Lia. Seolah huruf-huruf di kertas itu menjadi bahan bakar yang menyalakan hatinya.

Di sisi lain, Lia juga melakukan hal yang sama. Kadang saat istirahat sekolah, ia diam di pojok kelas sambil menulis surat balasan.

Teman-temannya mengira ia sedang belajar, padahal ia sedang menulis nama Rafi di baris pertama kertasnya dengan senyum yang tak bisa disembunyikan.

Surat-surat mereka tak hanya berisi rindu, tapi juga cerita kecil sehari-hari.
Tentang hujan yang turun tiba-tiba saat Rafi berangkat sekolah, tentang Lia yang hampir terlambat karena ban sepedanya bocor, atau tentang guru yang terlalu galak tapi lucu diam-diam.
Dari hal-hal sederhana itulah mereka merasa dekat, meski jarak memisahkan.

Namun, tidak semua hari indah.
Ada saat ketika surat tak datang selama berminggu-minggu.
Rafi mulai gelisah, menatap langit sore sambil menunggu perahu pos lewat di dermaga.

Sementara di kota Lia, ujian akhir dan tugas sekolah membuatnya sibuk hingga lupa menulis.

Suatu sore, saat matahari hampir tenggelam, Rafi duduk di tepi pantai Madura.

Angin laut membawa aroma garam yang menenangkan, tapi hatinya terasa berat.
Ia menatap laut yang luas itu, seolah berbicara pada Lia di seberang sana.

Lia… kamu masih nunggu, kan?” bisiknya lirih.

Hari berganti, dan akhirnya surat itu datang. Sampulnya sudah agak kusam, tapi tulisan di atasnya tetap indah:

Untuk Rafi, dari seseorang yang tak pernah berhenti merindukanmu.”

Di dalamnya, Lia menulis panjang.
Ia bercerita betapa sibuknya masa ujian, betapa ia juga takut Rafi marah karena lama tak membalas.
Tapi di akhir suratnya, ada kalimat yang membuat dada Rafi bergetar:

“Aku tahu, kita belum bisa seperti mereka yang bebas bersama setiap hari.
Tapi aku percaya, cinta kita sedang menunggu waktu yang tepat untuk pulang.”

 

Sejak itu, mereka sepakat menulis lebih sering lagi meski hanya sepenggal kalimat atau sebaris doa.
Surat-surat itu menjadi jembatan yang menjaga mereka dari lupa.

Kadang, di malam-malam sepi, Lia duduk di depan jendela kamarnya sambil menatap bulan.

Di waktu yang sama, Rafi pun menatap bulan yang sama dari pantai desanya.
Dua hati di dua pulau, menatap langit yang satu seakan-akan langit itu tahu rahasia kecil mereka.

Suatu hari, dalam suratnya, Lia menulis:

“Kalau nanti kita lulus, aku ingin kamu datang lagi. Nggak usah bawa apa-apa, cukup datang aja. Aku cuma mau tahu… kamu masih pegang janji itu atau tidak.”

Rafi membaca kalimat itu berulang kali, lalu menatap laut di depan rumahnya.
Ia tahu, cinta mereka mungkin masih muda, tapi tak lagi main-main.
Dan di antara suara ombak dan angin malam, ia berjanji dalam hati:

“Aku akan datang. Aku akan menepati janji itu, meski seluruh laut memisahkan kita.”

Part 4: Musim yang Menguji Janji

Waktu berlalu cepat.
Angin yang dulu membawa surat-surat penuh rindu kini membawa kabar baru: ujian akhir sudah di depan mata.
Lia mulai sibuk belajar, menumpuk buku-buku di meja kecilnya hingga larut malam.

Sementara di Madura, Rafi juga berjuang dengan lembar demi lembar catatan yang menuntut keseriusan.

Namun di antara semua kesibukan itu, mereka tetap tak pernah lupa.
Kadang hanya sepucuk surat singkat, bahkan kadang hanya selembar kertas dengan satu kalimat, tapi itu sudah cukup untuk menenangkan hati yang lelah belajar dan rindu dalam diam.

“Aku capek belajar, tapi pas baca suratmu, rasanya semua jadi ringan.” Lia

Aku juga gitu. Kadang aku cuma butuh tahu kamu masih nulis buatku.” Rafi

Malam-malam menjelang ujian menjadi waktu yang paling berat. Lia sering menatap surat-surat dari Rafi yang disimpannya di dalam kotak kecil berwarna biru muda.

Kertasnya sudah mulai menguning, tapi setiap tulisan masih sama hangatnya.
Di sisi lain, Rafi menyimpan semua surat Lia dalam kaleng biskuit bekas yang ia sembunyikan di bawah ranjang tempat yang hanya ia tahu.

Suatu malam, Lia menulis surat terakhir sebelum ujian. Tangannya gemetar, bukan karena lelah, tapi karena takut.
Takut waktu akan membawa mereka ke jalan yang berbeda.

“Raf, kalau nanti kamu nggak bisa datang lagi setelah lulus, aku ngerti.
Tapi aku pengin kamu tahu, aku nggak akan nyesel pernah kenal kamu.
Aku cuma takut… waktu akan menghapus semua yang kita jaga.”

Surat itu sampai ke tangan Rafi dua minggu kemudian.
Hari itu hujan deras mengguyur Madura, tapi Rafi tetap berlari ke dermaga, menjemput surat itu dari tukang pos. Ia membaca di bawah atap bambu, dengan suara hujan menggantikan detak jantungnya yang tak tenang.

Dan malam itu juga, Rafi menulis balasan:

“Lia, aku nggak tahu nanti aku bakal jadi apa, atau ke mana hidup ini bawa aku. Tapi aku tahu satu hal: selama aku masih bisa nulis namamu,
aku nggak akan berhenti berharap buat ketemu lagi.”

Setelah ujian berakhir, hari-hari terasa aneh seperti kosong tanpa arah.
Tak ada lagi rutinitas belajar, tak ada lagi alasan untuk saling menunggu surat tentang pelajaran. Yang tersisa hanya waktu, dan rindu yang makin diam-diam tumbuh dalam doa.

Sampai suatu sore, surat datang lagi.
Namun kali ini bukan dari Lia.
Surat itu dari sekolahnya undangan untuk menghadiri acara kelulusan bersama perwakilan siswa dari sekolah lain. Dan salah satu sekolah yang akan hadir… adalah sekolah Lia.

Rafi menatap surat undangan itu lama.
Angin sore membawa aroma laut yang lembut, dan dalam hatinya ia tahu:
waktu yang mereka tunggu akhirnya datang.

Di malam yang tenang itu, di bawah cahaya bulan yang sama seperti dulu,
Rafi menatap langit dan berbisik pelan,

“Tunggu aku, Lia… aku akan datang.”

Part 5: Saat Harus Melepaskan

Laut yang dulu menjadi saksi pertemuan mereka, kini terasa semakin jauh.
Surat-surat yang dulu datang setiap minggu, kini mulai jarang tiba.
Waktu tak lagi seindah dulu kesibukan, perubahan, dan jarak yang kian lebar perlahan menciptakan celah di antara mereka.

Rafi dan Lia kini sudah duduk di bangku akhir sekolah. Keduanya semakin dewasa, tapi juga semakin sering bertengkar.
Bukan karena hilang cinta, tapi karena terlalu takut kehilangan.

Awalnya hal-hal kecil Lia terlambat membalas surat, Rafi sibuk dengan kegiatan sekolah.

Namun lama-kelamaan, kata-kata menjadi tajam. Saling salah paham, saling menuntut perhatian, saling diam dalam waktu yang terlalu lama.

Kamu berubah, Raf,” tulis Lia suatu kali.

“Sekarang kayaknya kamu nggak butuh aku lagi.”

Rafi membaca surat itu berulang kali, menatap langit sore yang kelabu.
Ia ingin menjelaskan, tapi tidak tahu bagaimana.

Semuanya terasa rumit, padahal dulu segalanya begitu sederhana cukup dengan surat, senyum, dan janji.

Hari berganti, dan konflik makin sering datang.

Lia merasa Rafi terlalu dingin. Rafi merasa Lia terlalu mudah marah.
Cinta mereka yang dulu hangat kini mulai terasa berat.

Hingga akhirnya, satu sore, surat datang dengan amplop warna biru muda warna yang selalu Lia pakai sejak awal.
Namun kali ini berbeda.

Tulisan di depannya masih sama indahnya, tapi di dalamnya tak ada sapaan “Rafi sayangku” seperti biasa.
Hanya kalimat pendek, tapi tajam seperti pisau:

“Mungkin ini waktunya kita berhenti saling menunggu.”

Rafi terdiam lama. Matanya menatap tulisan itu, mencoba menyangkal kenyataan yang perlahan menetes bersama air matanya.

Malam itu, ia pergi ke dermaga tempat di mana dulu ia pertama kali meninggalkan Lia. Angin laut berembus dingin, dan suara ombak terdengar seperti kenangan yang memanggil dari masa lalu.

“Kenapa harus begini, Lia…”
Suara Rafi pecah, tertelan angin laut.

Ia tahu, mereka berdua sama-sama lelah.
Menjaga cinta dari jarak yang tak pernah bersahabat bukan hal mudah.
Dan mungkin, melepaskan bukan berarti berhenti mencintai tapi mengikhlaskan sesuatu yang pernah begitu berharga.

Sejak malam itu, surat dari Lia tak pernah datang lagi.
Namun Rafi tidak pernah membuang satu pun surat darinya.
Kotak kecil di bawah ranjangnya tetap tertutup rapat, seolah di dalamnya tersimpan sebagian hidupnya yang tak bisa diulang.

Kadang, di tepi laut yang sama, Rafi masih duduk diam menatap arah Jawa.
Ia tahu Lia entah di mana kini, mungkin sudah bahagia dengan hidupnya sendiri.
Tapi setiap kali ombak datang, setiap kali kapal berlabuh, ia masih mendengar gema lembut dari masa lalu:

Bagaimana aku bisa hidup tanpamu.”