Literatur – Hujan turun deras malam itu. Di beranda rumah sakit, Raka duduk sambil memandangi lampu kota yang berpendar samar di balik tirai air. Di tangannya, selembar surat kecil sudah lecek karena terus digenggam sejak tadi siang. Surat dari seseorang yang paling ia cintai Sinta.
Sudah tiga bulan Sinta berjuang melawan penyakit yang perlahan menggerogoti tubuhnya. Namun senyumnya, entah kenapa, selalu tampak lebih kuat daripada dirinya sendiri.
“Kalau suatu hari aku pergi duluan,” tulis Sinta dalam surat itu, “jangan sedih terlalu lama, ya. Aku nggak ingin jadi alasan kamu berhenti bahagia.”
Kata-kata itu terus terulang di kepala Raka, tapi malam ini terasa berbeda. Nafas Sinta mulai tersengal, matanya yang dulu jernih kini tampak sayu namun tetap hangat menatapnya.
“Rak…,” suara itu lirih, “kamu masih ingat janji kamu waktu di taman dulu?”
Raka tersenyum getir. “Yang mana, Sin? Kita punya banyak janji.”
Sinta tersenyum tipis. “Yang kamu bilang… kalau aku capek, kamu bakal jagain aku sampai aku tenang.”
Raka menggenggam tangannya erat. “Aku di sini, Sin. Aku nggak ke mana-mana.”
Beberapa detik kemudian, Sinta menarik napas panjang… lalu diam. Sunyi. Dunia seolah berhenti berputar. Raka tak berkata apa-apa. Ia hanya memeluk tubuh Sinta yang perlahan kehilangan hangatnya.
Hari-hari setelahnya, Raka berjalan tanpa arah. Setiap sudut kota mengingatkannya pada Sinta pada tawa, pada hujan, pada aroma kopi yang selalu mereka nikmati bersama. Tapi waktu, pelan-pelan, mengajarkan sesuatu yang dulu tak pernah ia pahami: cinta sejati tak pernah benar-benar hilang, ia hanya berpindah tempat dari pelukan, ke doa.
Setahun kemudian, di taman tempat mereka sering duduk, Raka menaruh setangkai bunga mawar putih.
Ia menatap langit sore dan tersenyum.
“Aku udah nggak sedih lagi, Sin. Tapi aku tetap rindu, setiap hari.”

