Edukasi – Di Banten, seorang kepala sekolah harus berhadapan dengan gelombang protes dari ratusan siswanya. Ia dituduh “melampaui batas” karena menegur keras siswa yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Tak berhenti di situ para orang tua murid bahkan melaporkannya ke polisi. Ironisnya, tindakan mendisiplinkan yang dulu dianggap bagian dari kasih sayang guru, kini berubah menjadi kasus hukum yang disorot publik.

Lalu, kita menoleh ke sisi lain dunia pendidikan di pesantren. Di sana, ribuan santri justru siap membela habis-habisan kiyai mereka ketika kehormatan sang guru direndahkan. Para wali santri pun mengikhlaskan anak-anaknya dididik dengan keras, bahkan ketika ada yang harus kehilangan nyawa di tengah proses pendidikan. Semua itu bukan karena buta, tapi karena paham: mendidik adalah perjuangan jiwa, bukan sekadar transfer ilmu.

Dua dunia yang kontras. Satu diwarnai protes, laporan, dan kehilangan rasa hormat. Satu lagi dipenuhi keikhlasan, penghormatan, dan ketundukan terhadap ilmu.

Lalu, mari kita bertanya jujur:
Sistem pendidikan mana yang sebenarnya gagal?

Apakah yang melahirkan generasi mudah tersinggung dan sulit diarahkan, yang memprotes setiap bentuk teguran dengan alasan “kekerasan”?

Ataukah sistem yang masih memegang teguh nilai-nilai adab, menghormati guru, dan menempatkan pendidikan sebagai pembentukan karakter, bukan sekadar pencapaian akademik?

Apakah sekolah yang melahirkan siswa-siswa yang berani menentang dan melaporkan gurunya ketika didisiplinkan?

Ataukah masyarakat yang kian kehilangan makna penghormatan terhadap guru sebagai sosok pembimbing moral dan karakter?

Fenomena ini bukan sekadar persoalan antara murid dan guru, melainkan cerminan dari krisis nilai dalam sistem pendidikan kita. Ketika batas antara hak dan hormat mulai kabur, ketika disiplin dianggap sebagai kekerasan, dan ketika otoritas pendidik dipatahkan oleh opini publik, di sanalah letak kegagalan pendidikan yang sesungguhnya.

Jika guru takut menegur murid,
Jika orang tua lebih percaya pada laporan viral ketimbang bimbingan guru, jika siswa merasa paling benar dan guru selalu salah, maka di sanalah letak kehancuran pendidikan itu bermula.

Kita sedang hidup di era ketika nilai-nilai moral dikalahkan oleh sensitivitas semu.
Guru disalahkan karena tegas. Orang tua menuntut “hak anak” tanpa memahami “tanggung jawab mendidik.”
Dan sekolah perlahan berubah menjadi tempat yang tak lagi menumbuhkan watak, tapi sekadar mengejar nilai rapor.

Pendidikan sejati tidak selalu lembut.
Ia kadang keras, karena dunia nyata pun keras.

Guru bukan musuh. Guru adalah pelita kadang panas, tapi selalu memberi terang.

Maka sebelum kita berteriak bahwa sistem gagal, mari bercermin:
Siapa sebenarnya yang sedang kehilangan arah – gurunya, muridnya, atau kita semua sebagai orang tua dan masyarakat?