Hujan sore itu turun tanpa suara. Di bawah payung biru yang sudah robek di ujungnya, Rian berdiri memandangi jalan yang dulu sering mereka lewati berdua dirinya dan Alya.
Semua tampak sama: trotoar basah, aroma tanah, dan rintik hujan yang jatuh di genting. Namun satu hal berbeda: kini hanya ada dia.

Tiga tahun lalu, mereka masih duduk di bangku SMA. Alya adalah gadis yang selalu membawa cahaya, sementara Rian adalah laki-laki sederhana yang jarang bicara. Mereka bertemu di perpustakaan sekolah bukan karena cinta pada pandangan pertama, tapi karena sama-sama suka duduk di pojok yang sama.

Hari demi hari, tanpa sadar, keheningan di antara mereka berubah menjadi kebersamaan yang paling hangat. Alya sering berkata,

“Kamu tahu nggak, Ran? Kalau aku sedih, cukup lihat kamu diam aja, rasanya semua baik-baik aja.”

Rian hanya tersenyum, tak pandai merangkai kata. Tapi dalam hatinya, ia tahu gadis itu adalah satu-satunya alasan ia ingin jadi lebih baik.

Mereka tumbuh bersama. Rian kuliah di luar kota, sementara Alya tetap di kampung halaman, membantu ibunya yang sakit.

Jarak menjadi ujian, tapi setiap malam, pesan pendek dari Alya selalu datang tepat waktu:

“Udah makan?”
“Belajar jangan lupa tidur ya.”
“Aku nunggu kamu pulang.”

Namun suatu hari, pesan itu berhenti datang.

Rian menunggu, berhari-hari, berminggu-minggu. Ia menelepon, tapi tak pernah diangkat. Hingga akhirnya, ibunda Alya yang menjawab panggilan itu dengan suara bergetar.

“Rian… Alya udah nggak bisa dihubungi lagi, Nak. Dia… udah pergi.”

Rian terdiam. Dada sesak. Dunia seakan berhenti. Alya pergi bukan karena marah, bukan karena bosan. Tapi karena penyakit yang selama ini ia sembunyikan. Leukemia. Stadium akhir.

Hari pemakamannya, hujan turun deras. Seakan langit ikut menangis.
Rian berdiri diam, payung di tangannya gemetar.

Ia menatap batu nisan sederhana bertuliskan nama gadis yang dulu ia cintai tanpa banyak kata.

“Kamu janji kan, bakal nunggu aku pulang,” bisiknya lirih.
“Tapi ternyata kamu pergi lebih dulu.”

Sejak hari itu, Rian tak pernah lagi menatap hujan dengan cara yang sama.
Ia selalu merasa, setiap rintiknya membawa suara lembut Alya yang berbisik pelan di telinganya:

“Aku nggak pergi, Ran. Aku cuma pulang duluan.”

Tiga tahun kemudian, Rian kembali ke kota itu. Ia kini menjadi guru di sekolah yang dulu pernah ia dan Alya pijak.
Suatu sore, saat langit kembali mendung, ia berjalan ke taman di belakang sekolah tempat mereka dulu suka duduk bersama di bangku tua.

Di sana, ia meletakkan seikat bunga lili putih.

“Aku udah balik, Ly…”
“Seperti janjiku dulu.”

Rintik hujan turun pelan, membasahi bahunya. Dan di antara hembusan angin sore itu, ia mendengar suara yang sangat dikenalnya lembut, hangat, dan menenangkan.

“Terima kasih udah balik, Ran…”

Rian tersenyum kecil, menatap langit yang kini semakin kelabu.
Ia tahu, mungkin raga Alya telah tiada. Tapi cinta yang mereka titipkan pada hujan… akan selalu turun setiap kali ia merindukannya.

Empat tahun sudah berlalu sejak hari terakhir Rian berdiri di bawah hujan itu.
Waktu telah menghapus banyak hal tapi tidak kenangan.

Setiap kali langit mendung, setiap kali aroma tanah basah menyentuh hidungnya, nama itu kembali hadir: Alya.

Kini Rian menjadi guru Bahasa Indonesia di SMA yang sama tempat mereka dulu belajar.

Setiap pagi ia melewati koridor tempat Alya dulu sering menunggu di depan kelas, sambil tersenyum sambil membawa bekal dua kotak satu untuknya, satu untuk Rian.

Namun suatu pagi yang berbeda, di kelas barunya, Rian bertemu seorang murid perempuan bernama Alisa.
Wajahnya tak sepenuhnya sama, tapi sorot matanya teduh, lembut, dan caranya tersenyum membuat jantung Rian berdetak aneh.
Setiap kali Alisa menunduk dan tersenyum malu, Rian seolah melihat bayangan Alya dari masa lalu.

Beberapa bulan berlalu. Alisa sering datang ke ruang guru, meminjam buku, dan terkadang sekadar bercerita.
Ia pandai menulis puisi. Salah satu puisinya membuat Rian terdiam lama:

“Jika cinta adalah hujan,
maka aku ingin jadi payung yang menunggu,
meski tahu tak akan pernah digunakan.”

Rian membaca bait itu dengan hati bergetar. Kata-kata itu terlalu mirip dengan kalimat Alya dulu.
Masih teringat jelas  malam sebelum Alya jatuh sakit parah, gadis itu pernah berkata hal yang sama.

Suatu sore, hujan turun lagi. Alisa berdiri di depan gerbang sekolah, sendirian tanpa payung.
Rian mendekat sambil membawa payung biru tuanya yang kini warnanya sudah pudar.

“Ini, pakai saja. Jangan kehujanan,” ucap Rian.

Alisa menatap payung itu, lalu tersenyum. “Payungnya… mirip payung yang ada di mimpi saya, Pak. Aneh ya?”

Rian tertegun sejenak. “Mimpi?”

Iya… entah kenapa, saya sering mimpi berdiri di bawah hujan. Ada seseorang yang memayungi saya. Tapi saya nggak pernah lihat wajahnya. Saya cuma ingat… dia manggil saya ‘Ly’.”

Rian membeku. Detik itu, dunia seolah berhenti berputar.

Hujan turun lebih deras. Dan di antara suara gemericiknya, Rian menatap langit sambil berbisik dalam hati:

“Alya… apa ini cara Tuhan mempertemukan kita lagi?”

Beberapa hari kemudian, Alisa lulus. Ia memberi Rian selembar kertas, berisi puisi terakhirnya:

“Kita mungkin tak lagi bersama,
tapi hujan tahu,
ada dua hati yang pernah saling menunggu.”

Rian menatap tulisan itu lama, lalu tersenyum dengan mata basah.
Ia sadar  mungkin bukan kebetulan. Mungkin cinta sejati tidak pernah mati, hanya berganti bentuk.

Mungkin sebagian jiwa Alya hidup kembali… dalam senyum Alisa.

Malam itu, hujan turun pelan.
Rian duduk di teras rumah, memegang payung biru yang kini robek di banyak sisi.

Ia berbisik pelan ke udara:

Terima kasih, Ly…
bahkan setelah kau tiada,
kau masih mengajarkanku cara mencintai tanpa harus memiliki.”

Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Rian menatap hujan bukan dengan duka… tapi dengan rindu yang hangat.

Karena ia tahu, cinta sejati memang tak pernah hilang hanya berpindah tempat, dari genggaman… ke kenangan.

Ketika Cinta Menemukan Rumahnya

Waktu terus berjalan, dan hidup membawa Rian serta Alisa ke arah yang tak pernah mereka bayangkan.

Setelah bertahun-tahun tak bertemu, Alisa kembali ke kota itu bukan lagi sebagai siswi, tapi sebagai guru baru di sekolah yang sama. Kini ia mengajar Seni dan Sastra, sementara Rian masih menjadi guru Bahasa Indonesia.

Keduanya sering bertemu di ruang guru, saling bertukar cerita, tertawa di antara tumpukan kertas ujian, dan tanpa sadar hati mereka saling mendekat.

Rian tahu, sebagian dari dirinya masih menyimpan bayangan Alya. Tapi setiap kali melihat Alisa tersenyum dengan mata yang hangat itu, ia merasa… mungkin Tuhan sedang memberinya kesempatan kedua untuk mencintai tanpa kehilangan.

Suatu sore, langit kembali mendung.
Hujan turun dengan lembut, dan mereka berdua terjebak di ruang kelas yang kosong.

Rian berdiri di dekat jendela, menatap rintik air yang membasahi kaca.

Dulu,” katanya perlahan, “aku pernah kehilangan seseorang di bawah hujan seperti ini.”

Alisa diam. “Kekasihmu?”
Rian mengangguk. “Namanya Alya.”

Hening.
Hanya suara hujan yang terdengar di antara mereka.

Alisa kemudian berbisik, “Mungkin Tuhan tahu kamu terlalu mencintainya, jadi Dia kirim aku… supaya kamu bisa belajar mencintai lagi, tapi kali ini tanpa kehilangan.”

Rian menatapnya lama.
Dan untuk pertama kalinya sejak Alya pergi, ia memeluk seseorang dengan perasaan tenang, bukan menggantikan, tapi menyambung cinta yang pernah terputus.

Dua tahun kemudian, mereka menikah.
Upacara sederhana diadakan di halaman sekolah, di bawah pohon besar yang dulu sering mereka jadikan tempat berlindung dari hujan.

Langit sore itu mendung, seperti ingin ikut menghadiri.

Ketika Rian mengucap ijab kabul, setetes hujan jatuh tepat di pipinya. Ia tersenyum, menatap ke atas dan dalam hatinya, ia tahu itu bukan kebetulan.

“Terima kasih, Ly… kamu datang, kan?”
“Sekarang aku sudah menemukan rumahku.”

Malam pertama setelah pernikahan, Alisa duduk di samping Rian di teras rumah.

Hujan kembali turun lembut, seperti masa lalu yang datang tapi tidak lagi menyakitkan.

Alisa bersandar di bahu Rian. “Kamu masih sering mikirin dia, ya?”
Rian terdiam sejenak, lalu menjawab lirih,

“Aku nggak pernah berhenti, tapi sekarang… aku juga mikirin kamu di dalam doa yang sama.”

Alisa tersenyum, air matanya jatuh tanpa ia sadari. Ia menggenggam tangan Rian erat-erat, sementara di kejauhan, suara petir kecil menggema, lalu sunyi.

Malam itu, Rian menulis sesuatu di buku hariannya:

“Cinta sejati tidak selalu berarti memiliki satu nama.
Kadang Tuhan mengajarkan kita mencintai dua jiwa dalam satu perjalanan: yang pertama untuk mengajarkan arti kehilangan, dan yang kedua untuk menunjukkan arti pulang.”

Tahun-tahun berlalu, Rian dan Alisa hidup sederhana namun bahagia.
Di rak buku ruang tamu mereka, ada satu foto kecil: Alya berdiri di bawah hujan dengan payung biru.
Di sampingnya, foto pernikahan Rian dan Alisa di bawah langit yang sama, dengan payung yang sama.

Dan setiap kali hujan turun, Alisa akan berkata lembut,

“Ly, hujan datang lagi.”

Rian akan tersenyum, menggenggam tangan Alisa, dan menjawab,

“Iya. Tapi kali ini, kita tidak sendiri.”