Part 1:
Senja itu turun perlahan. Langit Surabaya berwarna kelabu, seperti meniru suasana hati Raka yang sedang duduk di bangku taman, menatap jalan yang mulai basah oleh hujan. Sudah hampir dua tahun sejak terakhir kali ia bertemu dengan Dinda. Tapi setiap kali hujan datang, semuanya terasa kembali hidup wajahnya, tawanya, bahkan nada lembut suaranya yang dulu selalu memanggil nama Raka dengan penuh sayang.
Mereka dulu sering berteduh di tempat itu. Sebuah halte tua di dekat taman, tempat pertama kali mereka berkenalan saat sama-sama lupa membawa payung. Dinda waktu itu tersenyum canggung, lalu menawarkan separuh tempat di bawah payung kecilnya. Dari sana, semuanya dimulai sebuah kisah sederhana yang tumbuh pelan-pelan, tanpa janji yang muluk, tapi penuh ketulusan.
Namun waktu, seperti biasa, punya cara sendiri untuk memisahkan dua hati yang saling mencintai.
Dinda divonis sakit jantung bawaan yang kian parah. Raka, yang waktu itu masih berjuang meniti karier, tak pernah tahu seberapa berat penyakit itu. Dinda menyembunyikannya. Ia tak mau menjadi beban, katanya. Ia hanya ingin Raka terus berjalan, mengejar mimpi tanpa rasa bersalah.
Sampai satu pagi, pesan singkat datang.
“Maaf, Ka. Aku nggak bisa nunggu kamu pulang. Jaga dirimu baik-baik, ya.”
Raka panik. Ia menelpon berkali-kali, tapi tak ada jawaban. Dan sore itu, ia berdiri di depan batu nisan dengan nama yang dulu selalu ia tulis di setiap catatan kecilnya. Dunia seakan berhenti. Semua rencana yang dulu mereka buat pernikahan sederhana di tepi pantai, rumah kecil dengan taman bunga lenyap begitu saja.
Kini, dua tahun berlalu. Tapi setiap hujan datang, Raka selalu kembali ke taman itu. Duduk di tempat yang sama, menatap bangku kosong di sebelahnya, seolah Dinda masih di sana, tersenyum di bawah payung kecilnya.
Hujan semakin deras. Raka menatap langit, lalu berbisik pelan,
“Aku masih di sini, Din. Masih di tempat kita dulu. Tapi aku tahu… kamu sudah tenang di sana.”
Lalu ia tersenyum, senyum yang nyaris tak terlihat di balik air mata dan butir hujan yang jatuh bersamaan.
Part 2:
Tiga tahun setelah kepergian Dinda, hidup Raka mulai pelan-pelan berubah. Ia tak lagi duduk sendirian di taman setiap sore. Waktu mengajarinya bahwa kenangan tidak bisa dilupakan, tapi bisa dipeluk tanpa menyakitkan diri sendiri.
Hari-harinya kini diisi dengan kesibukan di kantor, tumpukan laporan, dan suara tawa rekan kerja yang kadang memecah kesunyian. Tapi di antara semua itu, ada satu sosok baru yang perlahan hadir Nadia. Seorang rekan baru di tempat kerjanya, yang datang dengan senyum hangat dan tatapan yang entah kenapa terasa menenangkan.
Nadia berbeda. Ia tidak pernah berusaha menghapus bayangan Dinda. Ia hanya diam ketika Raka bercerita. Kadang mendengarkan tanpa menilai, kadang hanya menggenggam tangan Raka dan berkata pelan,
“Kamu nggak harus melupakan, Ka. Kadang kita cuma perlu berdamai.”
Kata-kata sederhana itu seperti menyalakan sesuatu dalam hati Raka yang lama padam. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, ia bisa tertawa tanpa merasa bersalah. Tapi setiap kali hujan datang, hatinya tetap bergetar dengan kenangan lama.
Suatu sore, setelah hujan reda, Raka mengajak Nadia ke taman itu taman yang dulu selalu ia kunjungi sendiri. Nadia duduk di bangku yang sama, menatap langit kelabu yang perlahan cerah.
“Tempat ini penting banget buat kamu, ya?” tanya Nadia.
Raka mengangguk. “Di sini aku pertama kali bertemu seseorang yang ngajarin aku arti cinta yang sebenarnya.”
Ia diam sejenak, lalu tersenyum. “Dan sekarang… aku di sini lagi, sama seseorang yang ngajarin aku arti bertahan.”
Nadia tak menjawab. Ia hanya menggenggam tangan Raka lebih erat. Di antara desir angin dan sisa aroma hujan, Raka merasa seolah Dinda sedang tersenyum dari kejauhan bukan karena cemburu, tapi karena akhirnya ia tahu, Raka sudah baik-baik saja.
Malamnya, sebelum tidur, Raka menulis satu kalimat di buku catatan lamanya buku yang dulu penuh dengan nama Dinda. Kini di halaman terakhir ia menulis:
“Cinta yang sejati tidak selalu tentang memiliki. Kadang, ia tentang mengizinkan hati untuk sembuh, meski dengan orang lain.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Raka bisa tidur tanpa mimpi buruk. Hujan turun perlahan di luar jendela tapi kali ini, ia tidak merasa kehilangan. Ia merasa pulang.
Part 3: Penutup
Waktu terus berjalan. Lima tahun berlalu sejak hujan terakhir yang mengantar Raka berdamai dengan masa lalunya.
Kini ia telah menikah dengan Nadia, hidup sederhana di rumah kecil di pinggiran kota. Ada halaman dengan bunga kamboja putih bunga kesukaan Dinda, yang Raka tanam diam-diam tanpa pernah menceritakan alasannya pada siapa pun.
Suatu hari, Raka menerima pesan tak terduga.
“Mas Raka? Ini ibu Dinda… Masih ingat?”
Tangan Raka sempat berhenti di atas keyboard laptop. Nama itu, Ibu Dinda membawa kembali gelombang kenangan yang datang tanpa diundang.
Mereka bertemu beberapa hari kemudian, di sebuah rumah kecil di Sidoarjo. Rambut Ibu Dinda sudah memutih, langkahnya perlahan, tapi senyumnya tetap sama hangat seperti dulu.
“Akhirnya kamu datang juga,” ucapnya sambil menatap Raka dengan mata berkaca-kaca. Raka hanya bisa menunduk. “Maaf, Bu… saya baru berani sekarang.”
Ibu Dinda tersenyum tipis. Ia membuka kotak kecil di pangkuannya. Di dalamnya, ada surat yang dilipat rapi dan sebuah kalung kecil berbentuk daun.
“Dinda menitipkan ini sebelum dia pergi,” katanya pelan. “Katanya, kalau Mas Raka sudah siap, kasihkan.”
Dengan tangan bergetar, Raka membuka lipatan surat itu. Tulisan tangan yang ia kenal baik menari di atas kertas yang mulai menguning.
“Ka, kalau kamu baca ini, berarti aku sudah nggak bisa lagi nemenin kamu hujan-hujanan. Tapi aku pengin kamu tahu, aku bahagia pernah jadi bagian kecil dari hidupmu. Jangan berhenti mencintai, ya. Suatu hari nanti, akan ada seseorang yang datang bukan untuk menggantikan aku, tapi untuk melanjutkan kebahagiaan yang sempat tertunda. Dan waktu itu tiba, cintailah dia dengan cara yang dulu kamu cintai aku. Karena cinta yang tulus nggak akan pernah hilang, cuma berubah bentuk.”
Air mata Raka jatuh tanpa bisa ia tahan.
Ia memejamkan mata lama, seolah ingin menahan waktu agar berhenti sejenak.
Ibu Dinda menepuk bahunya lembut. “Dia tenang, Nak. Aku yakin, dia ikut bahagia ngelihat kamu sekarang.”
Sore itu, sebelum pulang, Raka berdiri di depan makam Dinda. Ia letakkan kalung kecil berbentuk daun itu di atas batu nisan, lalu berbisik pelan,
“Terima kasih, Din. Untuk cinta yang nggak pernah hilang… dan untuk keberanian yang kamu tinggalkan buat aku.”
Langit tiba-tiba mendung lagi. Rintik hujan mulai turun, tapi Raka tidak berlari, tidak mencari tempat berteduh. Ia biarkan hujan membasahi wajahnya mungkin air mata, mungkin hanya sisa kenangan yang akhirnya pamit dengan tenang.
Beberapa bulan kemudian, di rumah kecilnya, Nadia melahirkan anak pertama mereka. Seorang bayi perempuan mungil. Saat bidan bertanya nama, Raka menatap wajah kecil itu dengan senyum yang sulit dijelaskan.
“Namanya… Dinda,” katanya pelan.
“Biar suatu hari, dia tahu… bahwa setiap cinta yang tulus, nggak pernah benar-benar berakhir.”

