Part 1:
Literatur -Langit sore itu berwarna jingga muram. Di tepi jalan desa, seorang pemuda bernama Raka berdiri sendirian, menatap arah rumah yang dulu begitu akrab baginya. Tiga tahun ia merantau, meninggalkan kampung demi menjemput masa depan. Kini ia pulang bukan sebagai pahlawan, hanya sebagai seseorang yang rindu pada tempat yang dulu ia sebut rumah.
Namun, bukan rumah yang paling ia rindukan. Melainkan Laras gadis yang dulu menemaninya di bawah pohon jambu, berbagi tawa, dan berjanji akan menunggu.
Sayangnya, waktu lebih setia pada perubahan daripada pada janji manusia.
Begitu sampai di depan rumah Laras, seorang lelaki tua menyapanya.
“Cari siapa, Nak?”
“Saya Raka, Pak… teman lamanya Laras.”
Lelaki itu menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata pelan,
“Laras sudah menikah sebulan lalu.”
Kata-kata itu menampar lebih keras dari badai. Hujan turun seolah turut menangisi sesuatu yang patah. Raka melangkah pergi tanpa tujuan, membiarkan hujan membasahi wajahnya yang tak tahu apakah basah karena air langit atau air mata.
Namun, di tengah langkah beratnya, seorang anak kecil berlari menghampiri.
“Om! Payungnya jatuh!” katanya polos sambil tersenyum, mengembalikan payung yang tak sengaja terlepas.
Raka menatap anak itu polos, hangat, dan jujur. Ia tersenyum kembali. “Terima kasih, Dek.”
Anak itu melambaikan tangan lalu berlari menuju ibunya sosok perempuan muda yang menatap Raka dengan tatapan iba dari kejauhan. Bukan Laras, tapi entah kenapa senyumnya terasa serupa: hangat dan tulus.
Di bawah hujan yang makin deras, Raka sadar:
Hidup memang tidak selalu memberi apa yang kita inginkan. Kadang, ia memberi kehilangan agar kita belajar menghargai yang datang berikutnya.
Malamnya, ia menulis di buku catatannya buku yang dulu ingin ia berikan untuk Laras:
“Aku tidak pulang untuk menagih janji, tapi untuk belajar melepaskan.
Karena cinta yang sejati bukan tentang memiliki, tapi tentang mendoakan agar ia bahagia meski bukan dengan kita.”
Beberapa bulan kemudian, Raka mulai mengajar di sekolah dasar desanya. Ia tersenyum setiap kali melihat anak-anak bermain di halaman, menertawakan hal-hal kecil, seperti dirinya dulu.
Dan setiap kali hujan turun di ujung senja, ia selalu menatap langit dengan hati yang tenang.
Bukan karena ia sudah lupa,
tapi karena ia sudah berdamai.
Part 2: Setelah Hujan Pergi
Tiga tahun berlalu. Desa tempat Raka tinggal mulai berubah jalan-jalan yang dulu tanah kini sudah beraspal, sawah-sawah di ujung desa mulai ramai lagi. Dan di sekolah dasar tempat Raka mengajar, tawa anak-anak selalu mengisi paginya.
Raka tak lagi memikirkan masa lalu. Ia mencintai pekerjaannya. Ia bahagia setiap kali melihat murid-muridnya tertawa saat ia bercerita tentang petualangan kecil di buku pelajaran.
Namun suatu pagi, kepala sekolah memanggilnya.
“Raka, minggu depan ada guru baru yang akan bergabung. Dia akan membantu mengajar kelas rendah.”
Raka mengangguk. “Baik, Pak. Siapa namanya?”
“Namanya Nadia.”
Hari pertama Nadia datang, Raka tidak menyangka. Ia bukan seperti yang dibayangkannya bukan sosok pendiam atau terlalu serius. Nadia ceria, penuh semangat, dan punya tawa yang bisa membuat suasana kelas terasa hidup.
Raka memperhatikannya dari jauh. Bukan dengan niat apa-apa, hanya kagum pada caranya memperlakukan anak-anak.
Ia ingat dulu Laras pun begitu… lembut, perhatian, tapi ada perbedaan yang tak bisa dijelaskan.
Kalau Laras adalah kenangan yang membuat hati bergetar,
maka Nadia adalah kehadiran yang membuat hati tenang.
Hari demi hari, mereka sering bekerja bersama. Menyusun rencana pelajaran, membersihkan ruang guru, bahkan terkadang pulang bersama kalau hujan turun.
Suatu sore, saat meneduh di bawah pohon mangga, Nadia berkata pelan,
“Raka… kamu pernah kehilangan seseorang yang kamu sayangi, ya?”
Raka terdiam sejenak. “Kok tahu?”
Nadia tersenyum tipis. “Dari caramu menatap hujan. Ada sesuatu yang kamu simpan, tapi kamu tidak benci. Kamu cuma… belajar menerima.”
Raka menatap hujan di depan mereka.
“Dulu aku mencintai seseorang, tapi dia bahagia dengan orang lain. Sekarang aku bahagia karena dia bahagia.”
Nadia menunduk, lalu berkata pelan,
“Itu indah, Rak. Tapi jangan lupa, kamu juga berhak bahagia.”
Ucapan itu sederhana, tapi menembus jauh ke dalam hati Raka.
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa jantungnya berdetak bukan karena kenangan, tapi karena harapan baru.
Beberapa bulan berlalu. Mereka makin dekat. Raka sering membantu Nadia membawa buku, Nadia sering membuatkan kopi untuk Raka saat lembur menyiapkan acara sekolah. Semua terasa alami tanpa janji, tanpa rencana, hanya dua hati yang saling mengerti.
Suatu sore, setelah acara pentas seni, Nadia menatap Raka dan berkata,
“Raka… kamu tahu kenapa aku memilih pindah ke desa ini?”
Raka menggeleng.
“Aku lelah dengan kota. Aku kehilangan seseorang juga, tapi bukan karena dia pergi ke orang lain, melainkan karena takdir.”
Matanya berkaca. “Dia meninggal dalam kecelakaan.”
Raka menatapnya lama, lalu menggenggam tangan Nadia perlahan.
“Mungkin kita berdua memang disatukan oleh kehilangan. Tapi aku percaya, kehilangan tidak selalu akhir dari cerita. Kadang, ia adalah awal dari yang baru.”
Nadia tersenyum hangat, lembut, dan tulus.
Hujan turun lagi malam itu, tapi kali ini Raka tidak sendiri. Ia berjalan berdampingan dengan seseorang yang membuat langkahnya terasa ringan.
Dan di hatinya, ia tahu…
setelah hujan, selalu ada pelangi.
Bagian 3: Di Antara Dua Hujan
Dua tahun setelah pertemuan itu, Raka dan Nadia akhirnya menikah.
Bukan pesta besar, bukan pula penuh kemewahan hanya akad sederhana di halaman sekolah tempat mereka pertama kali bertemu. Murid-murid mereka yang dulu kecil kini jadi pengiring tawa. Daun-daun mangga jatuh pelan di antara angin sore, seolah turut memberi restu.
Setelah menikah, mereka tinggal di rumah kecil dekat sawah. Setiap pagi, Nadia membuatkan teh, dan Raka menyiapkan sepeda motornya untuk ke sekolah. Hidup mereka sederhana, tapi penuh tawa.
Raka sering berkata,
“Kebahagiaan itu bukan soal punya segalanya, tapi ketika ada seseorang yang mau memegang tanganmu saat dunia terasa berat.”
Namun, kebahagiaan kadang diuji dengan hal yang tak terduga.
Suatu hari, saat Raka sedang mengajar, seseorang mengetuk pintu kelas. Ketika ia menoleh, waktu seolah berhenti.
Laras.
Dia berdiri di sana, dengan wajah yang sama tapi sorot mata berbeda lelah, rapuh.
“Raka…” suaranya bergetar, “aku… aku ingin mendaftarkan anakku sekolah di sini.”
Dunia seakan memutar kenangan lama.
Raka menatapnya lama, antara terkejut dan tak tahu harus berkata apa. Tapi kemudian ia tersenyum, tulus, dan berkata lembut, “Silakan, Laras. Aku akan bantu uruskan pendaftarannya.”
Beberapa hari kemudian, Laras datang lagi membawa berkas. Kali ini, ia tampak lebih tenang.
Di ruang guru, Nadia menyapanya ramah, tanpa tahu siapa dia sebenarnya.
Mereka berbincang tentang anak, tentang sekolah, tentang hujan yang turun siang itu.
Dan saat Laras pamit, Nadia berkata sambil tersenyum, “Kalau anaknya diterima, nanti bisa satu kelas dengan murid suamiku.”
Laras menatapnya kaget. “Suamimu guru di sini juga?”
Nadia tersenyum bangga. “Iya, namanya Raka.”
Laras terdiam. Senyumnya goyah sesaat, tapi lalu ia menunduk dan berkata pelan, “Beruntung sekali kamu, Mbak Nadia. Dia lelaki yang baik.”
Nadia tersenyum tulus. “Iya, dia memang baik. Tapi kami juga berjuang untuk tetap saling percaya setiap hari.”
Setelah Laras pergi, Raka mendekati istrinya, tampak ragu untuk bercerita.
Namun Nadia menatapnya dan berkata pelan, “Tidak perlu menjelaskan apa-apa. Aku tahu dia bagian dari masa lalumu. Tapi aku juga tahu, masa depanmu… ada di sini, bersamaku.”
Raka menatapnya lama, lalu memeluknya erat di tengah suara hujan yang mulai turun lagi. “Terima kasih, Nad. Kamu membuatku percaya bahwa cinta sejati bukan tentang siapa yang pertama datang, tapi siapa yang tetap bertahan.”
Beberapa tahun kemudian, anak mereka lahir seorang perempuan kecil yang diberi nama Senja.
Setiap kali hujan turun, Raka menatap langit dan tersenyum. Hujan yang dulu menjadi tanda kehilangan, kini menjadi pengingat betapa berharganya perjalanan hidup.
Ia pernah kehilangan cinta,
tapi Tuhan memberinya sesuatu yang lebih indah:
kesempatan untuk mencinta kembali dan tidak salah kali ini.

