Edukasi – Perubahan kurikulum dalam dunia pendidikan merupakan hal yang wajar, sebab pendidikan memang harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan, dan kebutuhan masyarakat. Namun di Indonesia, perubahan kurikulum sering kali terjadi begitu cepat dan berulang sehingga menimbulkan beragam persoalan, terutama di tingkat pelaksanaan.
Dari Kurikulum ke Kurikulum: Siklus yang Tak Pernah Usai
Sejak masa kemerdekaan, Indonesia telah mengalami lebih dari sepuluh kali perubahan kurikulum. Mulai dari Rencana Pelajaran 1947, Kurikulum 1968, 1975, 1984, 1994, KBK 2004, KTSP 2006, Kurikulum 2013, hingga kini Kurikulum Merdeka yang mulai diterapkan secara bertahap sejak 2022.
Setiap kurikulum membawa semangat baru: ada yang menekankan hafalan, ada yang menekankan kompetensi, ada pula yang menekankan kemandirian dan kreativitas siswa. Namun, di balik semangat perubahan itu, muncul pertanyaan: apakah pendidikan kita benar-benar berubah ke arah yang lebih baik, atau sekadar berganti nama dan format?
Beban di Lapangan: Guru dan Sekolah yang Selalu Menyesuaikan
Salah satu dampak paling nyata dari seringnya perubahan kurikulum adalah beban adaptasi yang besar bagi guru dan sekolah. Setiap kali kurikulum berubah, guru dituntut untuk mempelajari sistem baru, perangkat ajar baru, bahkan pendekatan pembelajaran yang berbeda. Tidak semua guru memiliki kesempatan dan fasilitas yang memadai untuk mengikuti pelatihan atau memahami filosofi kurikulum yang baru.
Akibatnya, implementasi di lapangan sering kali berjalan setengah hati: dokumen berubah, tetapi praktik di kelas tetap sama. Banyak sekolah akhirnya hanya fokus pada mengejar administrasi kurikulum, bukan pada penguatan kualitas belajar siswa.
Kebijakan yang Belum Konsisten
Masalah lain terletak pada kurangnya konsistensi kebijakan pendidikan nasional. Setiap pergantian menteri, sering kali terjadi pula pergantian arah kebijakan, termasuk revisi kurikulum. Hal ini menimbulkan kesan bahwa pendidikan Indonesia berjalan tanpa peta jalan jangka panjang yang jelas.
Padahal, pendidikan seharusnya menjadi proyek jangka panjang yang lintas pemerintahan. Kurikulum bukan sekadar produk politik, tetapi fondasi pembangunan manusia.
Kurikulum Merdeka: Harapan Baru atau Ulangan Lama?
Kurikulum Merdeka datang dengan semangat baru: memberikan kebebasan bagi sekolah dan guru untuk berinovasi serta menyesuaikan pembelajaran dengan potensi dan kebutuhan siswa. Pendekatan ini tentu patut diapresiasi. Namun, tantangannya tetap sama: kesiapan guru, sarana prasarana, dan pemerataan kualitas pendidikan di seluruh wilayah Indonesia.
Jika tidak diimbangi dengan dukungan pelatihan dan pengawasan yang kuat, dikhawatirkan Kurikulum Merdeka hanya menjadi “nama baru” tanpa perubahan yang substansial.
Butuh Konsistensi dan Pendampingan Nyata
Perubahan kurikulum seharusnya bukan sekadar respons terhadap tren global atau pergantian pejabat, tetapi hasil dari evaluasi menyeluruh terhadap kebutuhan peserta didik dan realitas pendidikan nasional.
Indonesia tidak kekurangan ide atau semangat untuk memperbaiki pendidikan, namun sering kali kehilangan konsistensi dan kesinambungan dalam pelaksanaannya.
Sudah saatnya pemerintah menata kebijakan pendidikan dengan arah yang lebih stabil, berkelanjutan, dan berpihak pada praktik pembelajaran yang nyata di ruang kelas bukan hanya pada tumpukan dokumen kurikulum.

