Literatur –  Sore itu tampak abu-abu. Gerimis jatuh perlahan, menetes di ujung genting rumah kayu yang mulai lapuk. Di dalamnya, seorang wanita tua duduk di kursi goyang dekat jendela. Wajahnya penuh keriput, namun sorot matanya lembut seolah sedang menunggu sesuatu yang sangat berharga.

Namanya Ibu Sari, 67 tahun. Sejak suaminya meninggal tujuh tahun lalu, ia hanya hidup bersama anak semata wayangnya, Rafi. Tapi lima tahun terakhir, rumah itu terasa sunyi. Rafi merantau ke kota dengan janji akan pulang setelah sukses.

Namun, waktu berlalu begitu cepat. Janji itu tinggal kenangan.

Setiap pagi, Ibu Sari selalu membuat dua cangkir teh melati. Satu untuknya, satu untuk Rafi. Teh di cangkir Rafi selalu dibiarkan di atas meja, tak tersentuh.

Rafi pasti sibuk… tapi suatu hari dia pasti pulang,” gumamnya setiap pagi.

Ia masih mengingat jelas senyum anaknya saat terakhir kali berpamitan di depan pintu.

“Doakan Rafi, Bu. Biar nanti bisa beli rumah besar buat Ibu.”

Ibu Sari hanya tertawa waktu itu. Ia tak butuh rumah besar, ia hanya butuh Rafi duduk di hadapannya, bercerita sambil menyeruput teh seperti dulu.

Suatu malam, hujan deras mengguyur desa. Petir menyambar di kejauhan. Ibu Sari terbangun dari tidurnya karena batuk yang tak kunjung reda. Tubuhnya menggigil. Namun entah kenapa, ia ingin sekali membuat teh malam itu.

Dengan langkah pelan, ia berjalan ke dapur. Tangannya bergetar saat menuang air panas. Uap tipis mengepul, menciptakan aroma melati yang menenangkan.

Ia menyiapkan dua cangkir teh seperti biasa. Duduk di kursi goyangnya, menatap jendela yang diselimuti hujan.

“Rafi… Ibu buatkan teh kesukaanmu. Kau ingat, kan? Waktu kecil kau suka minta gula lebih banyak.”

Ia tersenyum sendiri. Air matanya jatuh satu-satu ke pangkuan.

“Kapan kau pulang, Nak? Ibu rindu sekali dengar suaramu…”

Angin malam berhembus lembut, menggoyangkan tirai. Ibu Sari menatap kosong ke luar, matanya berat. Lalu, perlahan ia memejamkan mata, sambil menggenggam cangkir teh yang mulai dingin.

Dan malam itu, dunia seakan berhenti sejenak.

Pagi harinya, tetangga yang datang mengetuk pintu tak mendengar sahutan. Mereka masuk pelan, dan menemukan Ibu Sari duduk di kursi goyang dengan wajah tenang, senyum lembut masih menghiasi bibirnya.

Di meja, dua cangkir teh masih terhidang. Uapnya sudah tak ada.

Sore itu, sebuah mobil berhenti di depan rumah. Seorang pemuda turun dengan wajah lelah, matanya sembab. Dialah Rafi. Di tangannya ada koper dan setangkai bunga melati bunga kesukaan ibunya.

Bu… Rafi pulang.”

Tak ada jawaban. Rumah itu sunyi.

Rafi melangkah perlahan ke dalam rumah, matanya menatap kursi goyang itu. Dan di sana ibunya sudah tak lagi bergerak.

Bu…”

Suaranya pecah. Ia berlari dan memeluk tubuh ibunya yang dingin.

Bu, bangun… Rafi sudah pulang, Bu… maaf, Rafi lama sekali…”

Tangisnya pecah. Ia menangis seperti anak kecil.

Saat matanya menatap meja, ia melihat dua cangkir teh dan secarik kertas di sampingnya tulisan tangan ibunya yang mulai bergetar.

“Nak, Ibu tak ingin menahanmu. Tapi jika suatu hari kau pulang dan Ibu sudah tak ada, jangan bersedih”.

Buatlah teh dua cangkir satu untukmu, satu untuk Ibu.
Karena Ibu akan selalu duduk di seberangmu, di setiap tegukan rindu.”

Rafi menggenggam surat itu erat, air matanya menetes di atas kertas. Ia menatap dua cangkir teh yang kini dingin, lalu berbisik lirih:

“Maafkan Rafi, Bu… aku pulang terlambat.”

Dengan tangan bergetar, ia membuat teh baru dua cangkir. Aroma melati mengisi ruangan yang hening. Ia duduk di kursi berseberangan dengan kursi ibunya.

Mungkin, di mata orang lain, ia hanya duduk sendiri.
Tapi Rafi tahu, sore itu ibunya sedang menatapnya dari seberang, sambil tersenyum seperti dulu.

Langit kembali mendung, dan hujan turun pelan.
Namun kali ini, bukan hanya langit yang menangis.